Sebanyak 8 item atau buku ditemukan

Kisah Hikayat Nabi Adam AS & Nabi Isa AS (Jesus AS) Dalam Islam

Nabi Adam AS adalah tokoh dari Kitab Kejadian, Perjanjian Baru & Kitab Suci Al-Quran. Menurut mitos penciptaan dari agama Abrahamik dia adalah manusia pertama dan menurut agama samawi pula merekalah orang tua dari semua manusia yang ada di dunia.Rincian kisah mengenai Adam dan Hawa berbeda-beda antara agama Islam, Judaism, Nasrani maupun agama lain yang berkembang dari ketiga agama Abrahamik. Nabi Adam hidup selama 930 tahun setelah , sedangkan Hawa lahir ketika Adam berusia 130 tahun. Al-Quran memuat kisah Adam dalam beberapa surat, di antaranya Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-A’raaf [7]:11-25. Menurut ajaran agama Abrahamik, anak-anak Adam dan Hawa dilahirkan secara kembar, yaitu, setiap bayi lelaki dilahirkan bersamaan dengan seorang bayi perempuan. Adam menikahkan anak lelakinya dengan anak gadisnya yang tidak sekembar dengannya. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Adam AS memiliki postur badan dengan ketinggian 60 hasta (kurang lebih 27,432 meter). Hadits mengenai ini pula ditemukan dalam riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad, namun dalam sanad yang berbeda. Sosok Nabi Adam AS digambarkan sangat beradab sekali, memiliki ilmu yang tinggi dan ia bukan makhluk purba. Ia berasal dari surga yang berperadaban maju. Turun ke muka bumi bisa sebagai makhluk asing dari sebuah peradaban yang jauh lebih maju dan cerdas, dari peradaban di bumi sampai kapanpun, oleh karena itulah Allah menunjuknya sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Dalam gambarannya ia adalah makhluk yang teramat cerdas, sangat dimuliakan oleh Allah, memiliki kelebihan yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain sebelumnya. Nabi Isa AS atau Jesus AS adalah nabi penting dalam agama Islam dan merupakan salah satu dari Ulul Azmi. Dalam Al-Qur'an, ia disebut Isa bin Maryam atau Isa al-Masih. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 29 M dan ditugaskan berdakwah kepada Bani Israil di Palestina. Namanya disebutkan sebanyak 25 kali di dalam Al-Quran. Cerita tentang Isa kemudian berlanjut dengan pengangkatannya sebagai utusan Allah, penolakan oleh Bani Israil dan berakhir dengan pengangkatan dirinya ke surga. Kemudian, ia diyakini mendapatkan gelar dari Allah dengan sebutan Ruhullah dan Kalimatullah. Karena Isa dicipta dengan kalimat Allah "Jadilah!", maka terciptalah Isa, sedangkan gelar ruhullah artinya ruh dari Allah karena Isa langsung diciptakan Allah dengan meniupkan ruh kedalam rahim Maryam. Narasi Qur'an tentang Isa dimulai dari kelahiran Maryam sebagai putri dari Imran, berlanjut dengan tumbuh kembangnya dalam asuhan Zakariya, serta kelahiran Yahya. Kemudian Al-Qur'an menceritakan keajaiban kelahiran Isa sebagai anak Maryam tanpa ayah. (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). (Ali 'Imran: 45) Ajaran Islam menganggap Isa hanya sebagai utusan Allah saja. Kepercayaan yang menganggap Isa sebagai Allah atau Anak Allah, menurut Islam adalah perbuatan syirik (mengasosiasikan makhluk sama dengan Allah), dan dengan demikian dianggap sebagai suatu penolakan atas konsep Keesaan Tuhan (tauhid). Islam melihat Isa sebagai manusia biasa yang mengajarkan bahwa keselamatan datang dengan melalui kepatuhan manusia kepada kehendak Tuhan dan hanya dengan cara menyembah Allah saja. Dengan demikian, Isa dalam ajaran Islam dianggap sebagai seorang muslim, begitu pula dengan semua nabi Islam. Islam dengan demikian menolak konsep trinitas dalam Ketuhanan Nasrani. Kaum Muslim meyakini bahwa Nabi Isa adalah sebagai seorang nabi pendahulu Muhammad SAW, dan menyatakan bahwa setelah ia akan muncul seorang nabi terakhir, sebagai penutup dari para nabi utusan Tuhan Semesta Alam.

Nabi Adam AS adalah tokoh dari Kitab Kejadian, Perjanjian Baru & Kitab Suci Al-Quran.

Kisah Hikayat Nabi Syits AS (Seth AS) Dalam Islam

Nabi Seth AS atau Nabi Syits AS atau Nabi Set AS adalah anak laki-laki dari Nabi Adam AS dan Hawa (Eve). Ia dilahirkan pada saat Adam berumur 130 tahun (Kejadian 5:3). Nabi Syits AS merupakan saudara muda dari Qabil dan Habil (Kain dan Habel). Menurut kitab Perjanjian Adam, mengisahkan bahwa Adam, ketika mengetahui bahwa ajalnya telah dekat, memanggil Set ke sisinya. Ia menyuruh Set kembali ke Taman Eden, masuk dan mengambil tiga benih dari buah Pohon Kehidupan. Adam kemudian meminta Seth kembali kepadanya dan menempatkan ketiga benih itu di mulutnya sebelum menguburkan jenazahnya. Nabi Seth AS melakukan apa yang diminta ayahnya dan pergi ke Taman Eden. Di gerbang taman itu berdirilah Penghulu Malaikat Mikail, yang menanyakan tujuan Set. Set memberitahukannya, dan Mikail mengizinkannya masuk, dan menunjukkan kepadanya pohon kehidupan itu. Set mengumpulkan tiga benih dari buah pohon itu dan kemudian kembali, melalui pintu gerbang, dan kembali ke ayahnya, yang saat ini telah meninggal. Ia menggali kuburan untuk Adam, dan menguburkannya, setelah menempatkan ketiga benih itu di mulutnya lalu menutup liang kuburnya. Dalam kitab Kejadian dari Kitab Suci Ibrani dan Alkitab, adalah salah satu anak (kemungkinan putra ketiga) dari Adam dan Hawa, dan merupakan adik laki-laki dari Kain dan Habel. Ia dilahirkan setelah Habel (Habil) dibunuh oleh Kain (Qabil). Nama Set disebut sepuluh kali dalam Alkitab, yaitu tujuh kali di kitab Kejadian, sekali di kitab Bilangan, Kitab 1 Tawarikh, dan Injil Lukas. Nabi Set AS bagi Nabi Adam AS adalah seorang anak yang "menurut rupa dan gambarnya". Set diberikan oleh Allah SWT sebagai pengganti Habel yang dibunuh. Ia mempunyai seorang anak yang bernama Enos pada usia 105 tahun dan hidup hingga mencapai usia 912 tahun. Melalui keturunan Set dilahirkanlah Nabi Nuh, Nabi Abraham, Nabi Daud, hingga akhirnya menurunkan Nabi Isa. Menurut kisah Islam, setelah kematian Habil, Adam sangatlah marah kepada Qabil. Kemudian Adam memiliki anak kembar kembali bernama Syits (Set/Seth) dan 'Azura. Syits memiliki arti "hadiah", karena Allah telah memberikan hadiah kepada Adam berupa seorang anak soleh, setelah kematian anaknya yang bernama Habil. Syits selain sebagai anak yang berbakti, ia diyakini sebagai seorang nabi dan rasulallah. Sebagai seorang nabi, Syits menerima perintah-perintah dari Allah yang ditulis dalam 50 suhuf/sahifah. Menurut keterangan Ibnu Abbas, ketika Nabi Syits AS dilahirkan, Nabi AdamAS sudah berusia 930 tahun. Adam sengaja memilih Syits sebab anaknya yang satu ini memiliki kelebihan dari segi keilmuan, kecerdasan, ketakwaan dan kepatuhan dibandingkan dengan semua anaknya yang lain. Adam mengajarkan semua pengetahuan yang ia miliki kepada Syits. Ia mengajarkan bagaimana menyembah Allah dan beribadah yang lainnya. Setelah kematian Adam, Syits memimpin anak cucu Adam. Ia memimpin dengan peraturan dan hukum Allah, ia membawa persatuan diantara orang-orang disekitarnya. Wahab bin Munabbih mengatakan, ketika Nabi Adam AS wafat, Nabi Syits AS telah berusia 400 tahun. Syits telah diwasiati oleh Adam untuk memerangi saudaranya, Qabil. Dia pergi memerangi Qabil dan akhirnya perang itu pun berkecamuk. Itulah perang pertama yang terjadi antara anak-anak Adam di muka bumi. Dalam peperangan itu, Syits memperoleh kemenangan dan dia menawan Qabil. Nabi Syits AS kemudian memimpin anak cucu Adam dan ia memimpin dengan peraturan dan hukum Allah SWT, ia membawa persatuan dan perdamaian diantara orang-orang disekitarnya. Buku ini mengisahkan hikayat Nabi Syits AS (Seth AS) putra Nabi Adam AS bersumberkan dari Al-Quran & Al-Hadist.

Nabi Seth AS atau Nabi Syits AS atau Nabi Set AS adalah anak laki-laki dari Nabi Adam AS dan Hawa (Eve).

Sistem Pengobatan & Penyembuhan Penyakit Islami Ala Nabi Muhammad SAW

Islam adalah agama yang sempurna (kamil) dan menyeluruh (syamil). Islam mengatur kehidupan manusia dalam berbagai aspek termasuk dalam dunia perawatan dan pengobatan. Allah swt yang maha pengasih dan penyayang kepada umat manusia, melalui kekasih-Nya Rasulullah, Allah mengajarkan kepada manusia cara merawat dan memelihara kesehatan. Pengobatan ala Nabi biasa dikenal dengan sebutan Thibun Nabawi sekitar abad ke-13 yang diperkenalkan oleh Syekh Ibnu Qoyyim Al Jauziah didalam kitabnya Zaadul Maad. Thibbun nabawi mengacu terhadap semua perkataan, pengajaran, dan tindakan Rasul yang berkaitan dengan pengobatan atau penyembuhan suatu penyakit. Termasuk tindakan medis yang dilakukan sahabat atau orang pada zaman Rasul. Pengobatan Ala Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i) karena berasal dari wahyu dan misykat Nubuwwah, bernuansa illahiah, alamiah, dan ilmiah yang berasal dari kesempurnaan akal melalui proses berfikir (aqliyah).

Islam adalah agama yang sempurna (kamil) dan menyeluruh (syamil).

Kisah Hikayat Shafiyyah Binti Abdul Muththalib Bibi Nabi Muhammad SAW

Begitu banyak kemuliaan dan keutamaan yang disandangnya. Barangkali kemuliaan tertinggi yang sedang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya –setelah nikmat Iman dan Islam– adalah kedudukannya sebagai bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam—menurut pendapat yang kuat. Di samping itu. Dia adalah ibunda Hawari (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga. Cukuplah semua itu sebagai kemuliaan bagi Shafiyyah Binti Abdul Muththalib. Ia terlahir dari keluarga terpandang dan disegani. Ayahnya adalah Abdul Muththalib, seorang pembesar Quraisy dan ibunya adalah Halah binti Wahab, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ibu yang notabene juga dikenal sebagai keluarga terpandang. Pernikahannya yang pertama adalah dengan Al-Harits bin Harb bin Umaiyah, saudara Abu Sufyan pemimpin Bani Umaiyah. Setelah Al-Harits meninggal, saudara Ummul Mukminin Khadijah. Dan darinya terlahir Zubair dan Sa’ib. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seabagai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aro: 214) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada semua kerabatnya yang tua, muda, laki-laki, dan wanita. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke bukit Shofa dan berseru, “Wahai Fathmah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah sedikitpun, (Jika kalian menghendaki sesuatu dariku maka) mintalah hartaku sesuka kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim) Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu’anha dalam bahtera Islam bersama putranya Zubair bin Awwam radhiallahu’anhu dan orang-orang pertama memeluk Islam, berlayar menghadang ombak dan gelombang dengan keimanan dan keyakinan menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya.

Begitu banyak kemuliaan dan keutamaan yang disandangnya.

Ibadah Dzikir Sebagai Nutrisi Rohani Dalam Islam

Allah SWT berfirman, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Qs. al-Baqarah [2]: 152) Dzikir adalah tali koneksi antara Allah dengan seorang hamba. Orang yang mengingat Allah, maka Allah akan mengingatnya. Dan yang melupakan Allah, maka Allah juga akan melupakan dan membiarkannya larut, hanyut dan tenggelam dalam kealfaan yang panjang. Larut dalam gulita hati dan kekeruhan rohani. Hanyut dalam kekerasan hati dan ketulian kalbu. Kita perlu mengingat Allah, karena kita memang membutuhkannya. Sementara Allah tak perlu kita mengingat-Nya, namun kitalah yang menghajatkan Dzat-Nya. Mengingat Allah adalah refleksi syukur kita, sedangkan melupakan-Nya adalah ungkapan nyata kekufuran (lihat Qs. Âli ‘Imrân [3]: 135). Setiap manusia pasti pernah alfa dan lalai. Namun sebaik-baik manusia yang berlaku salah adalah yang segera kembali ke akar penciptaannya, akar fitrah yang melekat pada dirinya. Ia akan segera berdzikir dan ingat kepada Allah, memohoan ampunan-Nya, mengemis welas asih-Nya, meratapi dosa-dosanya di hadapan kasih sayang-Nya. Karena ia sadar hanya Allah yang Maha Lapang rahmat-Nya, Maha Kasih, dan Maha Luas rahmat daripada murka-Nya (Qs. Âli ‘Imrân [3]: 191). Orang-orang yang berakal akan senantiasa mengingat Allah, merapat ke hadirat-Nya, merindukan-Nya, dan masyuk bersama-Nya. Ia akan senantiasa ingat dan dzikir kepada Allah dalam segala kondisi, hal, dan waktu.

Dalam. Islam. Allah SWT berfirman, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Qs. al-Baqarah [2]: 152) Dzikir
adalah tali koneksi antara Allah dengan seorang hamba. Orang yang mengingat
Allah, maka Allah akan mengingatnya. Dan yang melupakan Allah, maka Allah
juga akan melupakan dan membiarkannya larut, hanyut dan tenggelam dalam
kealfaan yang panjang.

Manajemen Waktu Dalam Pandangan Islam

Seorang muslim yang taat maka sudah selayaknya menjadikan hari-harinya menjadi sesuatu yang memiliki kemanfaatan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Agar tiap hari waktunya bermanfaat, maka selayaknya setiap muslim dapat mengatur waktunya dengan baik sehingga tidak terbuang sia-sia. Allah banyak bersumpah dengan waktu. Tidak lain karena keagungan nikmat waktu dan begitu urgensinya dalam kehidupan anak manusia. Allah bersumpah dengan waktu dhuha, waktu malam, siang, dan bahkan dengan waktu itu sendiri. “Demi masa”. Rasulullah saw melarang kita mencaci waktu. Karena waktu adalah hamba Allah yang senantiasa tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Maka atas perintah-Nya dia berlalu dan melaju bagaikan badai tanpa ada yang sanggup menghentikannya kecuali Allah yang maha perkasa. Beliau juga bersabda: “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu darinya, yaitu kesehatan dan waktu luang. (Sahih Hadith)

Beliau juga bersabda: “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu darinya,
yaitu kesehatan dan waktu luang. (Sahih Hadith) Waktu Adalah Nikmat Yang
Agung Allah banyak bersumpah dengan waktu. Tidak lain karena keagungan
nikmat ...

Psikoterapi Islami Untuk Kesehatan Mental & Spiritual

Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya. Dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosi, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikis. Dalam ajaran Islam, selain psikoterapi duniawi, juga terdapat psikoterapi ukhrawi. Psikoterapi ini merupakan petunjuk (hidayah) dan anugerah (‘athâ`) dari Allah SWT, yang berisikan kerangka ideologis dan teologis dari segala psikoterapi. Sementara psikoterapi duniawi merupakan hasil ijtihâd (upaya) manusia, berupa teknik-teknik pengobatan kejiwaan yang didasarkan kaidah-kaidah insaniah. Kedua model psikoterapi ini sama pentingnya, ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait. Pendekatan pencarian psikoterapi Islam, didasarkan atas kerangka psiko-teo-antropo-sentris. Yaitu psikologi yang didasarkan pada kemahakuasaan Tuhan dan upaya manusia. Kemahakuasaan Tuhan tergambar dalam firman Allah surah asy-Syu’arâ` ayat 78-80, ”(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjukiku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” Juga telah Rasulullah SAW tandaskan dalam sabdanya, ”Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali penyakit itu telah ada obatnya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah) Al-Qur`an merupakan sarana terapi utama. Sebab di dalamnya memuat resep-resep mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan pasien. Sugesti itu dapat diraih dengan mendengar dan membaca, memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya. Masing-masing tahapan perlakuan terhadap al-Qur`an dapat mengantarkan pasien ke alam yang dapat menenangkan dan menyejukkan jiwanya. Allah berfirman, Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 82)

Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan gangguan psikis melalui metode psikologis.

Meredakan Emosi Amarah Dalam Pandangan Islam

Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali ibn Abu Thalib RA sukses mengalahkan lawannya. Ia berhasil memukul pedang sang lawan hingga terlempar, dan menjungkalkan tubuh lawannya itu hingga tak berkutik di tanah. Lalu, Ali menghunuskan ujung pedangnya di leher sang lawan, menunggu untuk menusukkannya. Namun tiba-tiba, lawan yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali sangat kaget, seraya lekas mengusap lelehan air ludah lawannya itu dari wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang masih terlentang di atas tanah. Seseorang lalu bertanya heran mengapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian meludahinya. Ali menjawab, “Aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam hatiku kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya.” Ia melanjutkan, “Betapa marahnya Tuhan kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.” Sebuah tindakan yang sungguh sulit dimengerti. Ketika musuh sudah tidak berkutik, kemudian menghina dengan meludahi muka, malah diampuni. Alasan Ali sederhana: jihad fî sabîlillâh yang dilakukannya akan ternoda jika membunuh atas dasar nafsu pribadi. Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas dendam, butuh perjuangan berat. Karena banyak fakta memperlihatkan, nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak dapat terelakkan. Apalagi ketika emosi sudah mencapai ubun-ubun, ditambah jika ada kesempatan atau pihak yang memprovokasi. Ketika marah, orang yang berhati lembut bisa lekas berubah sangar. Yang pengasih pun bisa beralih menjadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna, tapi penglihatan tertutup. Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan hati-hati, cenderung akan membuat kita kebablasan. Karena itu, kemarahan sangat tak patut untuk diumbar. Bolehlah kita marah tapi hanya sewajarnya.

Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali ibn Abu Thalib RA sukses mengalahkan lawannya.