Sebanyak 2 item atau buku ditemukan

Menjadi Indonesia di Negeri Belanda

Sebuah Catatan Etnografis

Menjadi Indonesia adalah sebuah cara pandang dan sebuah posisi yang netral dalam memandang sebuah negara yang merupakan penjajah negeri saya, Indonesia. Dengan konsep menjadi Indonsia bisa saja saya memposisikan diri sebagai orang yang bangga menjadi Indonesia, mempertahankan budaya, dan nasionalisme keindonesiaan. Namun bisa juga itu dipahami sebagai sebuah otokritik sebagai orang Indonesia, apakah saya memang benar-benar telah mengindonesia, apakah orang-orang Indonesia itu benar-benar orang Indonesia. Dan tidak jarang, keindonesiaan dan keislaman saya menjadi sebuah destruksi, Bagaimana dengan keislaman saya? Seperti ini kiranya Islam di Belanda? Seperti ini kiranya praktik Islam di Belanda. Banyak hal tentang praktik (fiqihiyah) Islam yang membuat saya terkejut karena dalam praktik ritual seperti yang biasa saya lihat dan lakukan di Indonesia. Perjalanan saya yang terbilang singkat ke Belanda ini merupakan sebuah inspirasi untuk membenahi diri, mengobservasi berbagai hal apa yang ada di Belanda selalu membuat saya membanding-bandingkan apa yang ada di Indonesia, bisa saja dalam satu hal teryata Indonesia lebih beradab dan dalam hal lainnya Belanda terlihat seperti tidak berbudaya.

... tokoh Islam yang paling populer di Australia, mereka tidak terlampau
mengenal Gus Dur, Cak Nur, dan tokoh-tokoh Islam moderat lainnya. ... yang
lazim diterima seorang Muslim: 1) Mengapa negaranegara Islam selalu
berperang?;

Kaum intelektual dalam catatan kaki kekuasaan

Dinamika kaum intelektual dan intelektualisme menjadi sebuah kajian yang sangat menarik bagi saya, sehingga muncul keinginan untuk membongkar: Kaum intelektual sebenarnya siapa dan menyuarakan kepentingan siapa? Robert Brym mengatakan kaum intelektual dapat dikelompokkan: Pertama, memandang kaum intelektual semata-mata sebagai juru bicara bagi kepentingan satu kelas utama saja; Kedua, memandang kaum intelektual sebagai terpisah dari struktur kelas; Ketiga, menganggap kaum intelektual sebagai kelas tersendiri. Dalam buku ini dijelaskan bahwa intelektualisme selalu memiliki relasi dengan kekuasaan dan kapitalisme. Kapitalisme telah membuat kehidupan manusia berubah, dan bagaimana posisi kaum intelektual mengambil posisi dan dalam bersikap: apakah melawan kekuasaan untuk kemudian berpihak kepada kaum yang kalah, atau mungkin kaum intelektual tidak lebih dari sebuah catatan kaki dari narasi besar kekuasaan dan kekuatan kapitalisme? dan apakah kaum intelektual adalah manusia merdeka yang memerdekakan atau mungkin mereka justru berkontribusi dalam penindasan ! Saya menulis buku ini ketika sedang studi doktoral di UIN Maliki Malang pada periode tahun 2014 sampai 2017. Dalam proses perkuliahan untuk memeroleh gelar doktor tersebut, saya merasakan banyak kejanggalan dalam dunia akademik dan intelektualisme yang bersamaan dengan itu terjadi berbagai peristiwa di Indonesia yang di dalamnya banyak terlibat kaum intelektual. Guna mencari jawaban dari kegelisahan tersebut akhirnya saya putuskan untuk menulisnya.

Kaum intelegensia mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat,
dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas.
Intelektualisme selalu berada dalam skeptisme, selalu bertanya, selalu
menggugat, ...