Sebanyak 6 item atau buku ditemukan

Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum

Hilangnya Ruang Hidup Orang Melayu Deli

Kajian atas tiga ruang pergulatan dan pembentukan hukum yang dipresentasikan dalam pendekatan sosiolegal dengan mengambil konstruksi hukum tanah komunal etnis Melayu Deli di Sumatera Utara mendekatkan kita kembali bahwa hukum dalam definisi apapun yang dipakai adalah sebuah produk kebudayaan dengan kepentingan tertentu dari manusia-manusia yang menguasai atau mengontrolnya. Hukum tak bisa lepas dari politik kepentingan para pemangkunya. Selama lebih kurang satu setengah abad pergaulan hukum tanah komunal etnis Melayu Deli bersama hukum kolonial dan hukum resmi negara Republik Indonesia, kelihatan sekali bagaimana kontestasi kepentingan-kepentingan itu terungkap. Hukum negara menjadi sangat sentralistik sementara badan-badan peradilan formal berkontribusi mengamankannya. Untuk dan atas nama Hak Guna Usaha yang diberikan kepada perkebunan-perkebunan negara, lahan-lahan yang sangat subur bagi tanaman tembakau diformat ulang secara periodik. Dengan dalih divestasi, landreform dan kerugian terus menerus yang dialami perkebunan, lahan-lahan itu beralih ke tangan-tangan pengusaha. Ini adalah erzat kapitalisme seperti yang dikatakan Yoshihara Kunio. Nasib hukum lokal persis seperti benalu tua yang tumbuh pada inangnya. Ini adalah paradoks: dari pemilik tanah menjadi pengemis di tanahnya sendiri, dari inang menjadi benalu. Nasib hutan/tanah reba dan orang Melayu yang hidup bertarung di atasnya persis seperti bidal Melayu: antan patah lesungpun hilang. Di kalangan rakyat yang berjuang untuk dan atas nama masyarakat adat, hukum-hukum negara yang menolak eksistensi mereka jelas diabaikan, sebaliknya peraturan apa saja yang memberi peluang hidup bagi mereka mulai dari konvensi internasional perlindungan masyarakat asli sampai putusan pengadilan, akan menjadi sumber inspirasi perjuangan untuk bertahan hidup di lahan-lahan yang mereka kuasai. Hukum dalam terminologi apa saja akan direspon positif jika itu menguntungkan perjuangan bersama mereka. Begitu juga keberpihakan politik yang akan mengamankan penguasaan tanah. Corak ini tak mesti sejajar dengan cara mereka membangun hubungan secara internal di kelompoknya. Jargon komunalisme dan religiusitas hubungan rakyat dengan tanah hilang dihantam kebutuhan pragmatis dalam merespon kebutuhan tanah yang transaksional. Kualitas dan ciri-ciri hukum yang populis di tingkat makro berubah total menjadi kapitalistik di ranah mikro.

mendirikan pondok rumah sebagai tempat tinggal serta mendirikan musholla
sebagai tempat ibadah. Selain dasar hukum acte van concessie yang disebutkan
di atas, para penggugat mendalilkan keabsahan penguasaan tanah adat
tersebut pada UU Pokok Agraria No.5 tahun 1960, khususnya pasal 3 dan pasal
5 serta peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5
tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Adat yang ...

Pluralisme hukum

sebuah pendekatan interdisiplin

Historical, philosophical, and social approaches on legal pluralism in Indonesia; collection of articles.

Historical, philosophical, and social approaches on legal pluralism in Indonesia; collection of articles.

Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan

Konsep mengenai waris dan apa sebenarnya hukum waris, khususnya waris Islam, mendapatkan ujiannya dalam praktik pembagian dan penyelesaian sengketa waris dalam masyarakat. Konsep dan hukum yang sudah dianggap baku, ternyata dalam praktiknya dapat dimusyawarahkan, bersifat cair, dan mendapatkan makna baru. Pemaknaan tentang waris sangat beragam, tidak hanya karena hukumnya beragam, tetapi juga budaya, sistem pemaknaan, kelas yang beragam, dan juga perspektif gender. Realitas pluralisme hukum dapat ditunjukkan bukan hanya karena keberadaan beberapa sistem hukum dalam isu waris, tetapi juga adanya saling pengaruh, adopsi atau sebaliknya kontestasi, di antara berbagai sistem hukum tersebut dalam praktik pembagian waris. Masing-masing sistem hukum: hukum negara, adat, agama, dan kebiasaan, kehilangan garis demarkasinya secara tegas. Terdapat pengaruh dari praktik kebiasaan yang sangat dinamis terkait waris yang berlangsung di negara-negara Islam Asia Tenggara, terhadap praktik waris di Indonesia. Masing-masing hukum bukanlah entitas yang batasnya jelas. Hal ini sejalan dengan pemikiran modern dalam teori pluralisme hukum yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan globalisasi masa kini. “Buku Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan yang ditulis oleh Prof Sulistyowati Irianto hadir pada waktu yang tepat, yaitu ketika kesetaraan dan keadilan jender semakin menjadi kebutuhan Masyarakat mengingat peran penting perempuan di dalam rumah maupun di ruang publik yang tidak kalah dibandingkan peran kaum laki-laki. Isu pewarisan bagi perempuan, baik sebagai janda atau anak perempuan, terus menimbulkan perdebatan hingga hari ini. Pertanyaan mengapa perempuan harus dibedakan dari laki-laki dalam hak waris adalah persoalan nyata yang coba dijawab dalam buku ini melalui penelitian terhadap keputusan-keputusan yang dibuat di Pengadilan Agama hingga Mahkamah Agung. Membaca buku ini penting bagi para perempuan, masyarakat umum, dan para hakim untuk memahami konteks perjalanan hukum waris di Indonesia guna memberi keadilan bagi para ahli waris.” Ninuk Mardiana Pambudy, Wakil Pemimpin Redaksi harian KOMPAS “Dalam iklim politik global dan lokal saat ini di mana pembakuan kategori-kategori sederhana sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat proses pengasingan dan pengucilan sosial, buku ini merupakan suatu sumbangan mahapenting untuk memperdalam pandangan kita tentang pluralisme hukum terutama dalam berbagai sengketa waris, yang dilandasi keragaman kontekstual. Kita disadarkan akan peran aktor-aktor hukum yang berbeda sehingga kontestasi dan negosiasi merupakan dinamika yang mewarnai praktek hukum di tingkat yang berbeda-beda. Kita diberi pula pencerahan mengenai peran kaum perempuan sendiri dalam hubungan dengan anggota keluarga mereka maupun pandangan mereka tentang proses pengadilan, saat terjadi sengketa waris. Buku ini patut dibaca, selain oleh praktisi hukum, ilmuwan, aktivis maupun pejabat negara, juga oleh masyarakat umum.” Ratna Saptari, dosen Universitas Leiden. “Buku ini berbicara tentang hukum waris yang ditelaah darisocio-legal studies dengan perspektif gender. Obyek kajiannya adalah warisan. Pendekatan pluralisme hukum digunakan untuk menunjukkan bagaimana hukum negara, hukum agama, dan hukum adat bertemu, saling berharmoni, bernegosiasi, atau berkontestasi. Konstelasi pluralisme hukum dikaji secara mendalam di sini. Kajian lintas disiplin yang sangat komprehensif ini penting untuk dibaca oleh para hakim, mahasiswa dan praktisi hukum, para pakar dan mahasiswa sosiologi, juga para ahli dan praktisi gender.” Muhajir Darwin, Guru Besar Fisipol UGM.

Hal ini sejalan dengan pemikiran modern dalam teori pluralisme hukum yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan globalisasi masa kini. “Buku Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan yang ditulis oleh ...