Sebanyak 143 item atau buku ditemukan

Pluralisme juridique et règlement des conflits fonciers en République Démocratique du Congo

En RDC, les conflits fonciers coutumiers sont de la compétence des tribunaux étatiques. Mais les populations locales font appel à d'autres forums pour leur règlement. On vit un pluralisme "juridictionnel" qui fait intervenir les tribunaux coutumiers, les ONG de droit de l'homme et/ou de développement, les services de médiation liés à des confessions religieuses, etc. La pluralité de ces instances rend le règlement des conflits encore plus aléatoire.

En RDC, les conflits fonciers coutumiers sont de la compétence des tribunaux étatiques.

Le Pluralisme ordonné. Les Forces imaginantes du droit, 2

Les forces imaginantes du droit, 2

La couleur des idées Crise européenne, enlisement des réformes onusiennes, difficultés à mettre en place le protocole de Kyoto ou la Cour pénale internationale, tensions entre droits de l'homme et droit du commerce : le paysage juridique de ce début du XXIe siècle est dominé par l'imprécis, l'incertain, l'instable. Nous sommes à l'ère du grand désordre : celui d'un monde tout à la fois fragmenté à l'excès par une mondialisation anarchique et trop vite unifié par une intégration hégémonique, dans le silence du marché et le fracas des armes. Comment y construire un ordre sans l'imposer, comment, par-delà le relatif et l'universel, admettre le pluralisme sans renoncer à un droit partagé ? Ni fusion utopique ni autonomie illusoire, le " pluralisme ordonné ", véritable révolution épistémologique, est l'art de dessiner un espace juridique commun, par un équilibrage progressif qui préserve la diversité du monde et en accompagne le mouvement. Car les forces imaginantes du droit doivent pouvoir, à défaut d'instaurer un ordre immuable, inventer une harmonisation souple, propre à laisser espérer la refondation de valeurs communes.

La couleur des idées Crise européenne, enlisement des réformes onusiennes, difficultés à mettre en place le protocole de Kyoto ou la Cour pénale internationale, tensions entre droits de l'homme et droit du commerce : le paysage ...

ART CONTEMPORAIN ET PLURALISME

Nouvelles perspectives

De toute évidence l'art est aujourd'hui pluriel. Et de ce constat découlent différents problèmes. D'abord, la question de la création artistique et de ses rapports avec les critères du jugement esthétique, avec l'espace de la communication et la réceptivité sociale de l'art. Ensuite, la question de l'éducation et de la transmission des œuvres et des techniques. Enfin, celle du rôle des institutions, marché et État, dans leurs rapports complexes avec associations, fondations et institutions muséographiques.

De toute évidence l'art est aujourd'hui pluriel. Et de ce constat découlent différents problèmes.

Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum

Hilangnya Ruang Hidup Orang Melayu Deli

Kajian atas tiga ruang pergulatan dan pembentukan hukum yang dipresentasikan dalam pendekatan sosiolegal dengan mengambil konstruksi hukum tanah komunal etnis Melayu Deli di Sumatera Utara mendekatkan kita kembali bahwa hukum dalam definisi apapun yang dipakai adalah sebuah produk kebudayaan dengan kepentingan tertentu dari manusia-manusia yang menguasai atau mengontrolnya. Hukum tak bisa lepas dari politik kepentingan para pemangkunya. Selama lebih kurang satu setengah abad pergaulan hukum tanah komunal etnis Melayu Deli bersama hukum kolonial dan hukum resmi negara Republik Indonesia, kelihatan sekali bagaimana kontestasi kepentingan-kepentingan itu terungkap. Hukum negara menjadi sangat sentralistik sementara badan-badan peradilan formal berkontribusi mengamankannya. Untuk dan atas nama Hak Guna Usaha yang diberikan kepada perkebunan-perkebunan negara, lahan-lahan yang sangat subur bagi tanaman tembakau diformat ulang secara periodik. Dengan dalih divestasi, landreform dan kerugian terus menerus yang dialami perkebunan, lahan-lahan itu beralih ke tangan-tangan pengusaha. Ini adalah erzat kapitalisme seperti yang dikatakan Yoshihara Kunio. Nasib hukum lokal persis seperti benalu tua yang tumbuh pada inangnya. Ini adalah paradoks: dari pemilik tanah menjadi pengemis di tanahnya sendiri, dari inang menjadi benalu. Nasib hutan/tanah reba dan orang Melayu yang hidup bertarung di atasnya persis seperti bidal Melayu: antan patah lesungpun hilang. Di kalangan rakyat yang berjuang untuk dan atas nama masyarakat adat, hukum-hukum negara yang menolak eksistensi mereka jelas diabaikan, sebaliknya peraturan apa saja yang memberi peluang hidup bagi mereka mulai dari konvensi internasional perlindungan masyarakat asli sampai putusan pengadilan, akan menjadi sumber inspirasi perjuangan untuk bertahan hidup di lahan-lahan yang mereka kuasai. Hukum dalam terminologi apa saja akan direspon positif jika itu menguntungkan perjuangan bersama mereka. Begitu juga keberpihakan politik yang akan mengamankan penguasaan tanah. Corak ini tak mesti sejajar dengan cara mereka membangun hubungan secara internal di kelompoknya. Jargon komunalisme dan religiusitas hubungan rakyat dengan tanah hilang dihantam kebutuhan pragmatis dalam merespon kebutuhan tanah yang transaksional. Kualitas dan ciri-ciri hukum yang populis di tingkat makro berubah total menjadi kapitalistik di ranah mikro.

mendirikan pondok rumah sebagai tempat tinggal serta mendirikan musholla
sebagai tempat ibadah. Selain dasar hukum acte van concessie yang disebutkan
di atas, para penggugat mendalilkan keabsahan penguasaan tanah adat
tersebut pada UU Pokok Agraria No.5 tahun 1960, khususnya pasal 3 dan pasal
5 serta peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5
tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Adat yang ...

Pluralisme, konflik, dan pendidikan agama di Indonesia

On pluralism and religious education in Indonesia; collection of articles.

On pluralism and religious education in Indonesia; collection of articles.